MASYARAKAT MADANI
Makalah
Disusun dan Diajukan Guna Keperluan Tugas Terstruktur
Dosen Pengampu :
Harianto, S.H.I., M.Hum.
Mata Kuliah : Pkn
Oleh :
Hamidatul Malikhah (1123301152)
Anisa Fahmi (1123301153)
Ajib Darojat (1123301155)
Hikmaturrahimah (1123301158)
2 PAI 4
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN PURWOKERTO
2012
MASYARAKAT MADANI
1. PENDAHULUAN
Adanya beberapa kasus yang
berkenaan dengan penindasan rakyat yang dilakukan oleh penguasa merupakan
realitas yang sering kita lihat dan kita dengar dalam setiap pemberitaan pers, baik melalui media
elektronik maupun
media cetak. Sebut saja tentang penculikan para aktivis
demokrasi di berbagai Negara termasuk di Indonesia. Atau juga realitas
pengekangan dan pembungkaman kebebasan pers dengan adanya pembredelan beberapa
media massa oleh penguasa, serta pembantaian para kyai dengan dalih dukun
santet sekitar tahun 1999 yang dilakukan oleh kelompok oknum yang tidak
bertanggung jawab.
Melihat sebagian
kecil dari realitas tersebut, pada akhirnya akan bermuara pada perlunya dikaji
kembali kekuatan rakyat/masyarakat (civil) dalam konteks interaksi –relationship, baik antara
rakyat dengan Negara, maupun antara
rakyat dengan rakyat. Kedua pola hubungan
interaktif tersebut akan memposisikan rakyat sebagai bagian integral dalam
komunitas negara yang memiliki kekuatan bargaining dan menjadi komunitas masyarakat
sipil yang memiliki kecerdasan, analisa kritis yang tajam serta mampu
berinteraksi di lingkungannya secara demokratis dan berkeadaban.
Kemungkinan akan adanya kekuatan
civil sebagai bagian dari komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada
sebuah wacana yang saat ini sedang
berkembang, yakni Masyarakat Madani. Wacana Masyarakat Madani ini merupakan
wacana yang telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan
dengan proses modernisasi, terutama pada saat
terjadi transformasi dari masyarakat feudal menuju masyarakat Barat modern,
yang saat itu lebih dikenal dengan istilah civil
society. Dalam tradisi Eropa (sekitar
pertengahan abad XVIII), pengertian
civil society dianggap sama dengan pengertian Negara (state) yakni
suatu kelompok / kekuatan yang
mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Akan tetapi pada paruh abad
XVIII, terminology ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society dipahami sebagai dua buah entitas
yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial (social formation) dan perubahan-perubahan struktur politik di Eropa
sebagai pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam menghadapi persoalan
duniawi.
2. PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Masyarakat Madani
Gagasan masyarakat madani sesungguhnya
baru belakangan popular sekitar awal tahun 90-an di Indonesia, dan karena itu barangkali
juga masih berbau “asing’’
bagi sebagian kita. Konsep ini pada awalnya, sebenarnya mulai berkembang di
Barat, memiliki akar sejarah awal dalam peradaban masyarakat Barat, dan
terakhir setelah sekian lama seolah-olah terlupakan dalam perdebatan wacana
ilmu sosial modern, kemudian
mengalami revitalisasi terutama ketika Eropa Timur dilanda gelombang reformasi
di tahun-tahun pertengahan 80-an hingga awal 90-an.
Selanjutnya, wacana ini oleh orang banyak bangsa dan masyarakat
di Negara berkembang, termasuk Indonesia, secara antusias ikut dikaji,
dikembangkan, dan dieliminasi, sebagaimana realitas empiris yang dihadapi.
Kemudian
dalam mendefinisikan terma Masyarakat Madani ini sangat bergantung pada kondisi
sosial-kultural suatu
bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan terma
yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat. Sebagai titik
tolak, disini akan dikemukakan beberapa definisi masyarakat madani dari
berbagai pakar di berbagai Negara yang menganalisa dan mengkaji fenomena
masyarakat madani ini.
Pertama, definisi yang
dikemukakan oleh Zbigniew Rau dengan latar belakang kajiannya pada kawasan
Eropa Timur dan Uni Soviet. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud masyarakat madani
adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara.
Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara dalam masyarakat madani ini
diekspresikan dalam gambaran ciri-cirinya, yakni individualisme,pasar (market
) dam pluralisme.
Kedua,
yang digambarkan oleh Han Sung-joo dengan latar belakang kasus Korea Selatan. Ia mengatakan
bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan
menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari
Negara, suatu ruang publik yang mampu
mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga Negara yang mampu
mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui
norma-norma dan budaya yang menjadi
identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat
kelompok inti dalam civil society ini.
Ketiga,
definisi yang dikemukakan oleh Kim Sunhyuk, juga dalam konteks Korea Selatan.Ia
mengatakan bahwa yang dimaksud masyarakat madani adalah suatu satuan yang
terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan
gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relative otonom dari Negara, yang
merupakan satuan-satuan dasar dari reproduksi dan masyarakat yang mampu
melakukan kegiatan poitik dalam suatu
ruang public, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan
kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme
danpengelolaan yang mandiri.
Secara global dari ketiga definisi di
atas dapat ditarik benang emas, bahwa
yang dimaksud masyarakat madani adalah suatu kelompok atau tatanan masyarakat
yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan Negara, memiliki ruang
publik (public sphere)
dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat
menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.
Di
Indonesia, terma masyarakat madani mengalami penerjemahan yang berbeda-beda
dengan sudut pandang yang berbeda pula, seperti masyarkat sipil, masyarakat
kewargaan, masyarakat berbudaya dan civil society (tanpa diterjemahkan).
Masyarakat Madani, konsep ini merupakan penerjemahan
istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri
Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah
pada acara Festifal Istiqlal, 26 September
1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak
menunjukan masyarakat yang memiliki peradaban maju.
Mayarakat
Sipil merupakan penurunan langsung dari terma civil society. istilah ini
banyak dikemukakan oleh Mansour Fakih untuk menyebutkan prasyarat masyarakat
dan Negara dalam rangka proses penciptaan dunia secara mendasar baru dan lebih
baik.
Masyarakat Kewargaan, konsep ini digulirkan
oleh M. Ryas Rasyid dengan tulisannya “Perkembangan
Pemikiriran Masyarakat Kewargaan’’. Konsep ini merupakan respon dari keinginan
untuk menciptakan warga Negara sebagai bagian integral Negara yang mempunyai
andil dalam setiap perkembangan dan kemajuan Negara (state).
Mayarakat
Berbudaya merupakan isilah yang paling popular dan digandrungi di Indonesia
untuk menerjemahkan istilah masyarakat madani.Apa makna istilah ini? Tak pelak
bahwa kata “madani’’
merujuk pada Madinah sebuah kota yang sebelumnya bernama Yastrib di wilayah Arab,
di mana masyarakat Islam di bawah
kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW dimasa lalu pernah membangun peradaban tinggi. Menurut Nurcholish
Madjid, kata “madinah” berasal dari bahasa
Arab “madaniyah’’ yang
berarti peradaban. Karena itu masyarakat madani berasosiasi, “masyarakat beradab’’.[1]
B.
SEJARAH
PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI
Masyarakat
madani merupakan konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah
masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan
feudal menuju kehidupan masyarakat industri
kapitalis. Jika
dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana masyarakat madani
dapat dirunut mulai darui Cicero sampai Antonio Gramsci dan de’Tocquiveille.
Pada masa Aristoteles( 384-322), masyarakat
madani dipahami sebagai sistem
kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike,yakni sebuah komunitas
politik tempat warga Negara dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan
ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
Pada
tahun 1767, wacana
masyarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson, dengan mengambil konteks
sosio-kultural dan politik Skotlandia.Ia menekankan masyarakat madani pada
sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan
untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri
dan munculnya kapitalisme serta
mencoloknya perbedaan antara publik dan individu.
Kemudian
pada tahun 1792, muncul
wacana masyarakat madani yang memiliki aksentuasi yang berbeda dengan
sebelumnya. Konsep ini
dimunculkan oleh Thomas Paine (1737-1803) yang menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok
masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan Negara, bahkan
dianggapnya sebagai anti tetis dari Negara. Dengan demikian,
maka Negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan
dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum. Dengan demikian, maka
masyarakat madani menurut Paine ini adalah ruang di mana warga dapat
mengembangkan kepribadian dan member peluang bagi pemuasan kepentingannya
secara bebas dan tanpa paksaan.
Selanjutnya
perkembangan civil society dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M),Karl
Mark (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1837-1891 M). Wacana masyarakat madani
yang dikembangkan oleh tiga tokoh ini menekankan pada masyarakat madani sebagai
elemen ideology kelas dominan. Menurut Hegel struktur sosial terbagi atas tiga
entitas, yakni keluarga, masyarakat madani, dan Negara. Keluarga merupakan
ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan
keharmonisan. Masyarakat madani merupakan lokasi atau
tempat berlangsungnya peraturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan
terutama kepentingan ekonomi. Sementara
negara merupakan representasi ide
universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak
penuh untuk intervensi terhadap masyarakat madani.[2]
Sedangkan
Karl Mark memahami masyarakat madani sebagai “masyarakat borjuis’’ dalam konteks
hubungan produksi kapitalis, keberadaanya merupakan kendala bagi pembebasan
manusia dari penindasan. Karenanya,
maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Pemahaman Gramsci memberikan tekanan
pada kekuatan cendekiawan yang merupakan actor utama dalam proses perubahan
sosial dan politik. Gramsci
dengan demikian melihat adanya sifat kemandirian dan politis pada masyarakat
madani, sekalipun pada instasi terakhir ia juga amat dipengaruhi oleh basis
material (ekonomi).[3]
Periode berikutnya, wacana masyarakat
madani dikembangkan oleh Alexix de’tocqueville (1805-1859 M) yang berdasarkan
pada pengalaman demokrasi Amerika, dengan mengembangkan teori masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang kekuatan
Negara.Baginya kekuatan politik dan, masyarakat madanilah yang menjadikan
demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas
politik di dalam masyarakat madani, maka
warga Negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan Negara.[4]
Dari berbagai model pengembangan, masyarakat madani di
atas, model Gramsci dan Tocqueville-lah menginspirasi gerakan prodemokrasi di
Eropa Timur dan Tengah pada sekitar akhir dasawarsa 80-an. Pengalaman Eropa Timur dan Tengah tersebut
membuktikan bahwa justeru dominasi Negara atas masyarakatlah yang melumpuhkan
kehidupan sosial mereka. Hal ini berarti bahwa gerakan membangun masyarakat
madani menjadi perjuangan untuk membangun harga diri mereka sebagai warga
Negara. Gagasan tentang masyarakat madani kemudian menjadi senacam landasan
ideologis untuk membebaskan diri dari cengkraman Negara yang secara sistematis
melemahkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat.
C.
KARAKTERISTIK
MASYARAKAT MADANI
Penyebutan karakteristik
masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan
wacana masyarakat diperlukan prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal
dalam penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu
sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja, melainkan merupakan satu
kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat
madani. Karakteristik tersebut antara lain adalah adanya Free Public Sphere,
Demokratis, Toleransi, Pluralisme, Keadilan Sosial, dan berkeadaban.[5]
1.
FREE
PUBLIC SPHERE
Free Public Sphere yakni adanya
ruang public yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik
yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan
transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran.Aksentuasi
prasyarat ini dikemukakan oleh Arendt dan Habermas. Lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik secara
teoritis bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga Negara
memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan public. Warga
Negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat,
berserikat, berkumpul
serta mempublikasikan informasi kepada publik.
2.
DEMOKRATIS
Demokratis
merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana
dalam menjalani kehidupan, warga Negara memiliki kebebasan penuh untuk
menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
3.
TOLERAN
Toleran
merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan
sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang
lain. Toleran ini memungkinkan adanya kesadaran masing-masing individu untuk
menghargai dan menghormati pendapat
serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain yang berbeda.
Azyumardi
Azra pun menyebutkan bahwa masyarakat madani lebih dari sekedar gerakan-gerakan
pro demokrasi.Masyarakat madani juga mengacu ke kehidupan yang berkualitas dan
tamaddun(civility). Civilitas
meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima
pandangan-pandangan politik politik dan sikap sosial yang berbeda.[6]
4.
PLURALISME
Sebagai
sebuah prasyarat penegakan masyarakat madani, maka pluralisme harus dipahami
secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang
menghargai dan menerima kemajemukan
dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya
dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai
dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai
bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan.
Menurut
Nurcholis Madjid, pluralisme adalah pertalian sejati kenhinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban.Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi
keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan.
5.
KEADILAN
SOSIAL
Keadilan
dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional
terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek
kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu
aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat . Secara esensial, masyarakat
memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah ( penguasa ).
D.
PILAR
PENEGAK MASYARAKAT MADANI
Yang dimaksud dengan pilar penegak
masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian social
control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang
diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas.
Dalam penegakan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat
mutlakterwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar tersebut antara lain
LSM, Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.[7]
E.
MASYARAKAT
MADANI DAN DEMOKRATISASI
Hubungan antara
masyarakat madani dengan demokrasi,menurut Dawam bagaikan dua sisi mata uang,
keduanya bersifat ko-eksistensi. Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah
demokrasi dapat ditegakan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah
civil society dapat berkembang wajar.
Mayarakat madani
merupakan “rumah” persemaian demokrasi. Perlambang demokrasinya adalah
pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Namun dmokrasi tidak hanya bersemayam
dalam pemilu, sebab jika demokrasi harus mempunyai “rumah”, maka rumahnya
adalah masyarakat madani.
Dalam masyarakat
madani terdapat nilai-nilai universal tentang pluralisme yang kemudian
menghilangkan segala bentuk kecenderungan partikularisme dan sekterianisme. Hal
ini dalam proses demokrasi menjadi elemen yang sangat signifikan, di mana
masing-masing individu, etnis dan golongan mampu menhargai kebhuinekaan dan
menghormati stiap keputusan yang diambil oleh salah satu golongan atau individu.
3.
KESIMPULAN
Kekuatan
civil sebagai bagian dari komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada
sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang,
yakni Masyarakat Madani. Wacana ini muncul bersamaan dengan proses modernisasi. Dalam mendefinisikan terma
Masyarakat Madani ini sangat bergantung pada kondisi sosial-kultural suatu
bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan terma
yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat.
Konsep
masyarakat Madani ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society
yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim. Konsep masyarakat
Madani ini telah mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feudal
menuju kehidupan masyarakat industri
kapitalis di Eropa Barat. Masyarakat Madani kini bertransformasi menjadi
kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan Negara, bahkan
dianggapnya sebagai anti tetis dari Negara. Sehingga, negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia
merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat
demi terciptanya kesejahteraan umum.
Masyarakat madani adalah
institusi-institusi yang menjadi bagian social control yang berfungsi
mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu
memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Masyarakat madani mengandung nilai-nilai universal
tentang pluralisme yang kemudian menghilangkan segala bentuk kecenderungan
partikularisme dan sekterianisme
DAFTAR
PUSTAKA
Culla, Adi Suryadi,Masyarakat Madani,( Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada,1999).
Rozak, Abdul, dkk,Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education),(Jakarta: PRENADA
MEDIA,2004).
Azra, azyumardi, Demokrasi,Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta:ICCE UIN Jakarta
Nurcholis Madjid, Menuju
Masyarakat Madani, dalam Jurnal Kebudayaan Perdaban Uumul Qur’an, No.
2/VII/1996
[1]Nurcholis Madjid,’’ Menuju Masyarakat Madani ‘’ ,dalam Jurnal
Kebudayaan Perdaban Uumul Qur’an, No. 2/VII/1996, hlm.51-55
[2] Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani,(Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada,1999),hlm.102
[3] Ibid,hlm.103
[4] Demokrasi,Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,hlm 237-258
[5] Demokrasi,Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,hlm.247
[6] Demokrasi,Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,hlm dalam Azra,
Azyumardi,Menuju Mayarakat ,Madani,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,1999)
[7] Ibid,hlm250
Tidak ada komentar:
Posting Komentar