Rabu, Oktober 10, 2012

METODE IJTIHAD MUHAMMADIYAH


METODE IJTIHAD MUHAMMADIYAH


Disusun Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Kelulusan pada Mata Kuliah Usul Fiqh (Drs.H. Syufa’at, M.Ag.)

Disusun oleh:
Ajib Darojat
1123301155
2 PAI 4
Tarbiyah


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PURWOKERTO
2012

METODE IJTIHAD MUHAMMADIYAH
1.     
PENDAHULUAN

Pemikiran Islam merupakan hasil olah pikir kaum muslimin yang dilakukan untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang dihadapi. Meskipun ditemui keragaman pemikiran, itu disebabkan oleh perbedaan persepsi antar kelompok umat dan perbedaan interpretasi tentang suatu ayat atau hadis. Namun itu tidak perlu mejadi penghalang bagi pertumbuhan masyarakat, bahkan bila dihadapi dan dikelola secara bijak, keragaman pemikiran itu justru akan menimbulkan kesegaran.

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi kemasyakatan Islam tertua di Indonesia. Melalui majelis tarjihnya, Muhammadiyah berusaha mengikuti perkembangan pemikiran keislaman dan sekaligus memberikan tanggapannya. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa segala persoalan yang muncul saat ini harus dikembalikan pada al-Qur’an dan Sunnah (sumber ajaran Islam). Untuk menyelesaikan masalah-masalah fiqih yang tidak dibahas dalam al-Qur’an dan Hadits yang merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, maka dari itu peranan akal manusia menjadi penting artinya dalam memahami ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadis. Karena itu bagi Muhammadiyah ijtihad bukan saja perlu, namun juga harus dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer.
2.      PEMBAHASAN

A.    Hakikat Ijtihad Dalam Muhammadiyah

Ijtihad dapat dilakukan secara individu dan kolektif. Muhammadiyah memilih ijtihad dalam bentuk yang kedua. Hal ini dilihat dengan dibentuknya sebuah lembaga yang disebut Majlis Tarjih atau Lajnah Tarjih.

Majelis Tarjih adalah suatu lembaga dalam Muhammadiyah yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum bidang fiqih. Majelis ini dibentuk dan disahkan pada kongres Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Yokyakarta, dengan K.H. Mas Mansur sebagai ketuanya yang pertama. Tujuan pendirian Majelis ini adalah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khilafiyat, kemudian menetapkan pendapat yang terkuat, untuk diamalkan warga Muhammadiyah.[1]


Dalam perkembangan selanjutnya, Majelis Tarjih tidak sekedar mentarjihkan masalah-masalah khilafiyat, tetapi juga mengarah pada penyelesaian persoalan-persoalan baru yang belum pernah dibahas sebelumnya. Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak anggota Lajnah Tarjih menuntut agar Majelis Tarjih diubah namanya menjadi Majelis ijtihad
. Namun dengan alasan kesejarahan, sampai saat ini namanya tetap Majelis Tarjih.

Menurut “Religiositas Kebudayaan: Sumbangan Muhammadiyah Dalam Pembangunan Bangsa” (makalah yang ditulis M. Amin Abdullah), bahwa dengan melaui tajdid dan ijtihad dapat mengaitkan prinsip-prinsip moralitas dan normativitas al-Qur’an dan as-Sunnah dengan historisitas pembanguna bangsa.[2]

Dalam lapangan atau ruang lingkup ijtihad, berpendapat bahwa ijtihad, dalam arti menyelesaikan masalah dan mengkaji ulang, hanya berlaku dalam fiqih saja. Masalah aqidah termasuk masalah yang tidak boleh diijtihadkan lagi apalagi jika dikaji secara rasional. Bidang yang terakhir ini oleh Muhammadiyah dimasukan kepada lahan pemurnian, dan bukan lahan modernisasi.

Dalam hal modernisasi atau tajdid, menurut Haedar Nashir, sebagaimana dijelaskan dalam Majelis Tarjih dan Pengembangan Islam memiliki dua dimensi, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan atau pengembangan (dinamisasi), dengan makna lain berdimensi dakwah dan tajdid.[3]

Adapun rumusan tajdid yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut:
Dari segi bahasa tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdid memiliki dua arti, yakni;
1)      Pemurnian;
2)      Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Qur’an dan Sunnah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.[4]


Benar-benar gerakan ini tampak gerakan pemurnian dan peneguhan dalam beragama Islam. Bid’ah, tahayul, dan khurafat, serta mitos taqlid membebani teologis umat Islam berabad-abad, sehinnga kemudian KH.Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan metode Modernisasi dan Pemurniannya.[5] Untuk memahami lebih jelas hakikat tajdid dalam Muhammadiyah, perlu diperhatikan pemikiran tokoh Muhammadiyah yang terlibat langsung dalam pembahasan masalah tajdid pada forum muktamar tarjih XXII itu. Dari rangkaian pemikiran itu diharapkan dapat dilihat karakteristik atau hakikat ijtihad dalam Muhammadiyah.

Amin Rais, Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah periode 1985-1990, pada dasarnya menerima upaya kontekstualisasi ajaran Islam. Upaya itu menurutnya, harus tetap bersumber kepada al-Qur’an dan Hadist. Artinya ayat-ayat al-Qur’an dan hadist dapat dipahami sesuai dengan konteks dimana umat Islam itu berada. Tetapi ia tidak setuju kalau “sebuah hukum yang sudah qat’i dalam al-Qur’an disesuaikan dengan praktek masyarakat modern”.

Sementara itu Mukti Ali, dalam prasarannya di forum muktamar tarjih, menyetujui sepenuhnya upaya kontekstualisasi ajaran Islam. Ia menyatakan, untuk menghadapi dunia yang serba berubah ini “teks” al-Qur’an dan Hadist harus dipahami dengan memperhatikan keadaan disekitarnya, konteks. Itulah yang dimaksud memahami agama Islam secara kontekstual.[6]

B.     Metode Ijtihad Muhammadiyah
Kajian ini difokuskan pada apa yang tertulis dalam manhaj istinbath Majelis Tarjih dan Himpunan Putusan Tarjih untuk melihat lebih jauh konsistensi Muhammadiyah dalam menerapkan metode penetapan hukum yang telah digariskan.

Sumber hukum utama dalam pandangan Muhammadiyah tidak berbeda dengan NU bahkan seluruh umat Islam dalam berbagai mazhab dan aliran yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Artinya al-Qur’an merupakan rujukan utama dalam menetapkan hukum. Sedangkan Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Tentu penjelasan dari Sunnah tidak boleh bertentangan dengan apa yang dijelaskan al-Qur’an. Karena itu menurut ahli hadis salah satu tolak ukur untuk menyeleksi hadis adalah harus diuji dengan al-Qur’an.


Kemudian untuk menghadapi persoalan-persoalan yang baru, sepanjang tidak berhubungan dengan ibadah mahdah dan tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, dilakukan dengan ijtihad dan istimbath dari nas yang ada. Pernyataan ini menunjukan bahwa bagi Muhammadiyah Ijtihad bukan merupakan sumber hukum tetapi sebagai metode penetapan hukum dalam Islam. Dalam memahami ajaran Islam itu, akal dipergunakan  sejauh yang dapat dijangkau. Untuk hal yang berada di luar jangkauan akal, diambil sikap tawaqquf dan tafwidh. Memaksakan ta’wil kepada hal-hal yang berada di luar jangkauan akal, dipandang sebagai menundukan nash terhadap akal. Aspek akidah lebih banyak didasarkan atas nash, dan ta’wil dipergunakan sepanjang didukung oleh qarinah-qarinah yang dapat diterima.[7]

Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fiqhi terdahulu, namun di sana sini terdapat modifikasi atau kombinasi seperlunya. Ijma yang dibahas dalam ushul fiqih tidak dalam setiap periode diterima oleh Muhammadiyah. Organisasi ini hanya menerima konsep ijma yang terjadi dikalangan sahabat. Hal ini mengisyaratkan bahwa ijma tidak mungkin terjadi lagi setelah masa sahabat. Pada masa sahabat dimungkinkan adanya ijma karena umat Islam masih sedikit jumlahnya.
Selanjutnya qiyas sebagai metode penetapan hukum, pada dasarnya diterima Muhammadiyah dengan catatan bukan menyangkut ibadah mahdah. Ketika Muhammadiyah mengadakan pembahasan tentang qiyas, ternyata banyak peserta mu’tamar tarjih yang tidak setuju menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukum dalam Islam, tetapi banyak pula yang menyetujuinya. Dengan kata lain warga Muhammadiyah tidak sepakat penggunaan qiyas sebagai metode penetapan hukum. Namun demikian kenyataannya, betapapun seseorang atau sekelompok orang tidak menerima qiyas, namun persoalan-persoalan yang baru harus diselesaikan dengan melihat ‘illatnya. Kegiatan ini tidak lain kecuali qiyas.

Istihsan sebagai metode penetapan hukum tidak dijelaskan Muhammadiyah secara eksplisit, tetapi dari rumusan yang terdapat dalam manhaj Majelis Tarjih dapat dipahami bahwa metode istihsân diterima oleh Muhammadiyah. Dalam poin ke sembilan manhaj tersebut dinyatakan bahwa menta’lil, dalam arti menggali hikmah dan tujuan hukum, dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis. Kegiatan ini erat kaitannya dengan metode istihsân.[8]

Berbeda dengan qiyâs dan istihsân, dalam al-maslahat al-Mursalah sama sekali tidak terdapat nash yang secara khusus mengaturnya, melainkan termasuk ruang lingkup maqâsid al-syari’at secara umum. Metode ini digunakan untuk mengantisipasi persoalan baru, padahal nash dan al-Qur’an dan Hadis belum mengaturnya. Tentu bidangnya luas dibandingkan dengan dua metode sebelumnya. Metode ini juga digunakan oleh Muhammadiyah.[9]

3.      KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Muhammadiyah dalam berijtihad menempuh tiga jalur, yaitu:
a.       Al-ijtihad al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis.
b.      Al-ijtihad al-Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam al-Qur’an dan Hadis.
c.       Al-Ijtihad al-Istishlahî yaitu menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber hukum dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayatullah, Syarif. Muhammadiyah & Pluralitas Agama DI Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.1, th.2010.
Sucipto, Hery. KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, Jakarta Selatan: Best Media Utama, cet.1, th.2010.
Achmad, Nur., Tanthowi, Pramono U., Maarif, Ahmad Syafii., Syamsuddin, Din. Muhammadiyah ‘Digugat’, Jakarta: Kompas, cet.1, th.2000.
Jabrohim. Muhammadiyah Gerakan Kebudayaan yang Berkemajuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.1, th.2010.
Thohari, Hajriyanto Y. Muhammadiyah dan Pergulatan politik Islam modernis, Jakarta: Pusat Studi dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, cet.1, th.2005.



[2] Hidayatullah, Syarif. Muhammadiyah & Pluralitas Agama DI Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.1, th.2010, hlm:112
[3] Sucipto, Hery. KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, Jakarta Selatan: Best Media Utama, cet.1, th.2010, hlm:152
[5] Jabrohim. Muhammadiyah Gerakan Kebudayaan yang Berkemajuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.1, th.2010, hlm.14
[7] Achmad, Nur., Tanthowi, Pramono U., Maarif, Ahmad Syafii., Syamsuddin, Din. Muhammadiyah ‘Digugat’, Jakarta: Kompas, cet.1, th.2000, hlm:9
[8] Thohari, Hajriyanto Y. Muhammadiyah dan Pergulatan politik Islam modernis, Jakarta: Pusat Studi dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, cet.1, th.2005, hlm.105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Pilih Bahasa

Arsip Blog