METODE IJTIHAD MUHAMMADIYAH
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Kelulusan pada Mata
Kuliah Usul Fiqh (Drs.H. Syufa’at, M.Ag.)
Disusun oleh:
Ajib Darojat
1123301155
2 PAI 4
Tarbiyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PURWOKERTO
2012
METODE IJTIHAD MUHAMMADIYAH
1.
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Pemikiran Islam merupakan hasil olah pikir kaum muslimin yang
dilakukan untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang dihadapi. Meskipun
ditemui keragaman pemikiran, itu disebabkan oleh perbedaan persepsi antar kelompok
umat dan perbedaan interpretasi tentang suatu ayat atau hadis. Namun itu tidak
perlu mejadi penghalang bagi pertumbuhan masyarakat, bahkan bila dihadapi dan
dikelola secara bijak, keragaman pemikiran itu justru akan menimbulkan
kesegaran.
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi kemasyakatan Islam tertua di
Indonesia. Melalui majelis tarjihnya, Muhammadiyah berusaha mengikuti
perkembangan pemikiran keislaman dan sekaligus memberikan tanggapannya.
Muhammadiyah berkeyakinan bahwa segala persoalan yang muncul saat ini harus
dikembalikan pada al-Qur’an dan Sunnah (sumber ajaran Islam). Untuk menyelesaikan
masalah-masalah fiqih yang tidak dibahas dalam al-Qur’an dan Hadits yang
merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, maka dari itu
peranan akal manusia menjadi penting artinya dalam memahami ketentuan-ketentuan
yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadis. Karena itu bagi Muhammadiyah ijtihad
bukan saja perlu, namun juga harus dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah
kontemporer.
2.
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Ijtihad Dalam Muhammadiyah
Ijtihad dapat dilakukan secara individu dan kolektif. Muhammadiyah
memilih ijtihad dalam bentuk yang kedua. Hal ini dilihat dengan dibentuknya
sebuah lembaga yang disebut Majlis Tarjih atau Lajnah Tarjih.
Majelis Tarjih adalah suatu lembaga dalam Muhammadiyah yang
membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum bidang fiqih. Majelis ini
dibentuk dan disahkan pada kongres Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Yokyakarta,
dengan K.H. Mas Mansur sebagai ketuanya yang pertama. Tujuan pendirian Majelis
ini adalah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khilafiyat, kemudian
menetapkan pendapat yang terkuat, untuk diamalkan warga Muhammadiyah.[1]
Dalam perkembangan selanjutnya, Majelis Tarjih tidak sekedar mentarjihkan masalah-masalah khilafiyat, tetapi juga mengarah pada penyelesaian persoalan-persoalan baru yang belum pernah dibahas sebelumnya. Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak anggota Lajnah Tarjih menuntut agar Majelis Tarjih diubah namanya menjadi Majelis ijtihad. Namun dengan alasan kesejarahan, sampai saat ini namanya tetap Majelis Tarjih.
Menurut “Religiositas Kebudayaan: Sumbangan Muhammadiyah Dalam
Pembangunan Bangsa” (makalah yang ditulis M. Amin Abdullah), bahwa dengan
melaui tajdid dan ijtihad dapat mengaitkan prinsip-prinsip moralitas dan
normativitas al-Qur’an dan as-Sunnah dengan historisitas pembanguna bangsa.[2]
Dalam lapangan atau ruang lingkup ijtihad, berpendapat bahwa
ijtihad, dalam arti menyelesaikan masalah dan mengkaji ulang, hanya berlaku
dalam fiqih saja. Masalah aqidah termasuk masalah yang tidak boleh diijtihadkan
lagi apalagi jika dikaji secara rasional. Bidang yang terakhir ini oleh
Muhammadiyah dimasukan kepada lahan pemurnian, dan bukan lahan modernisasi.
Dalam hal modernisasi atau tajdid, menurut Haedar Nashir, sebagaimana dijelaskan dalam Majelis Tarjih dan Pengembangan Islam memiliki dua dimensi, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan atau pengembangan (dinamisasi), dengan makna lain berdimensi dakwah dan tajdid.[3]
Adapun rumusan tajdid yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah
sebagai berikut:
Dari segi bahasa tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah,
tajdid memiliki dua arti, yakni;
1)
Pemurnian;
2)
Peningkatan,
pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan
matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Qur’an dan Sunnah. Dalam
arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”,
tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam
dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.[4]
Benar-benar gerakan ini tampak gerakan pemurnian dan peneguhan dalam beragama Islam. Bid’ah, tahayul, dan khurafat, serta mitos taqlid membebani teologis umat Islam berabad-abad, sehinnga kemudian KH.Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan metode Modernisasi dan Pemurniannya.[5] Untuk memahami lebih jelas hakikat tajdid dalam Muhammadiyah, perlu diperhatikan pemikiran tokoh Muhammadiyah yang terlibat langsung dalam pembahasan masalah tajdid pada forum muktamar tarjih XXII itu. Dari rangkaian pemikiran itu diharapkan dapat dilihat karakteristik atau hakikat ijtihad dalam Muhammadiyah.
Amin Rais, Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah periode 1985-1990,
pada dasarnya menerima upaya kontekstualisasi ajaran Islam. Upaya itu
menurutnya, harus tetap bersumber kepada al-Qur’an dan Hadist. Artinya
ayat-ayat al-Qur’an dan hadist dapat dipahami sesuai dengan konteks dimana umat
Islam itu berada. Tetapi ia tidak setuju kalau “sebuah hukum yang sudah qat’i
dalam al-Qur’an disesuaikan dengan praktek masyarakat modern”.
Sementara itu Mukti Ali, dalam prasarannya di forum muktamar
tarjih, menyetujui sepenuhnya upaya kontekstualisasi ajaran Islam. Ia
menyatakan, untuk menghadapi dunia yang serba berubah ini “teks” al-Qur’an dan
Hadist harus dipahami dengan memperhatikan keadaan disekitarnya, konteks.
Itulah yang dimaksud memahami agama Islam secara kontekstual.[6]
B. Metode Ijtihad Muhammadiyah
Kajian ini difokuskan pada apa yang tertulis dalam manhaj istinbath
Majelis Tarjih dan Himpunan Putusan Tarjih untuk melihat lebih jauh konsistensi
Muhammadiyah dalam menerapkan metode penetapan hukum yang telah digariskan.
Sumber hukum utama dalam pandangan Muhammadiyah tidak berbeda
dengan NU bahkan seluruh umat Islam dalam berbagai mazhab dan aliran yaitu al-Qur’an
dan as-Sunnah. Artinya al-Qur’an merupakan rujukan utama dalam menetapkan
hukum. Sedangkan Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Tentu
penjelasan dari Sunnah tidak boleh bertentangan dengan apa yang dijelaskan
al-Qur’an. Karena itu menurut ahli hadis salah satu tolak ukur untuk menyeleksi
hadis adalah harus diuji dengan al-Qur’an.
Kemudian untuk menghadapi persoalan-persoalan yang baru, sepanjang tidak berhubungan dengan ibadah mahdah dan tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, dilakukan dengan ijtihad dan istimbath dari nas yang ada. Pernyataan ini menunjukan bahwa bagi Muhammadiyah Ijtihad bukan merupakan sumber hukum tetapi sebagai metode penetapan hukum dalam Islam. Dalam memahami ajaran Islam itu, akal dipergunakan sejauh yang dapat dijangkau. Untuk hal yang berada di luar jangkauan akal, diambil sikap tawaqquf dan tafwidh. Memaksakan ta’wil kepada hal-hal yang berada di luar jangkauan akal, dipandang sebagai menundukan nash terhadap akal. Aspek akidah lebih banyak didasarkan atas nash, dan ta’wil dipergunakan sepanjang didukung oleh qarinah-qarinah yang dapat diterima.[7]
Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode ijtihad yang telah
ditetapkan oleh para ahli ushul fiqhi terdahulu, namun di sana sini terdapat
modifikasi atau kombinasi seperlunya. Ijma yang dibahas dalam ushul fiqih
tidak dalam setiap periode diterima oleh Muhammadiyah. Organisasi ini hanya
menerima konsep ijma yang terjadi dikalangan sahabat. Hal ini mengisyaratkan
bahwa ijma tidak mungkin terjadi lagi setelah masa sahabat. Pada masa sahabat
dimungkinkan adanya ijma karena umat Islam masih sedikit jumlahnya.
Selanjutnya
qiyas sebagai metode penetapan hukum, pada dasarnya diterima
Muhammadiyah dengan catatan bukan menyangkut ibadah mahdah. Ketika Muhammadiyah
mengadakan pembahasan tentang qiyas, ternyata banyak peserta mu’tamar tarjih
yang tidak setuju menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukum dalam Islam,
tetapi banyak pula yang menyetujuinya. Dengan kata lain warga Muhammadiyah
tidak sepakat penggunaan qiyas sebagai metode penetapan hukum. Namun demikian
kenyataannya, betapapun seseorang atau sekelompok orang tidak menerima qiyas,
namun persoalan-persoalan yang baru harus diselesaikan dengan melihat
‘illatnya. Kegiatan ini tidak lain kecuali qiyas.
Istihsan sebagai metode
penetapan hukum tidak dijelaskan Muhammadiyah secara eksplisit, tetapi dari
rumusan yang terdapat dalam manhaj Majelis Tarjih dapat dipahami bahwa metode
istihsân diterima oleh Muhammadiyah. Dalam poin ke sembilan manhaj tersebut
dinyatakan bahwa menta’lil, dalam arti menggali hikmah dan tujuan hukum, dapat
digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis. Kegiatan
ini erat kaitannya dengan metode istihsân.[8]
Berbeda dengan qiyâs dan istihsân, dalam al-maslahat al-Mursalah
sama sekali tidak terdapat nash yang secara khusus mengaturnya, melainkan
termasuk ruang lingkup maqâsid al-syari’at secara umum. Metode ini digunakan
untuk mengantisipasi persoalan baru, padahal nash dan al-Qur’an dan Hadis belum
mengaturnya. Tentu bidangnya luas dibandingkan dengan dua metode sebelumnya.
Metode ini juga digunakan oleh Muhammadiyah.[9]
3.
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Muhammadiyah
dalam berijtihad menempuh tiga jalur, yaitu:
a.
Al-ijtihad
al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam al-Qur’an
dan Hadis.
b.
Al-ijtihad
al-Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan
kasus yang hukumnya telah diatur dalam al-Qur’an dan Hadis.
c.
Al-Ijtihad
al-Istishlahî yaitu menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam
kedua sumber hukum dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas
kemaslahatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hidayatullah,
Syarif. Muhammadiyah & Pluralitas Agama DI Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, cet.1, th.2010.
Sucipto,
Hery. KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah,
Jakarta Selatan: Best Media Utama, cet.1, th.2010.
Achmad,
Nur., Tanthowi, Pramono U., Maarif, Ahmad Syafii., Syamsuddin, Din. Muhammadiyah
‘Digugat’, Jakarta: Kompas, cet.1, th.2000.
Jabrohim.
Muhammadiyah Gerakan Kebudayaan yang Berkemajuan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, cet.1, th.2010.
Thohari,
Hajriyanto Y. Muhammadiyah dan Pergulatan politik Islam modernis, Jakarta:
Pusat Studi dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, cet.1, th.2005.
[2]
Hidayatullah, Syarif. Muhammadiyah & Pluralitas Agama DI Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.1, th.2010, hlm:112
[3]
Sucipto, Hery. KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah, Jakarta Selatan: Best Media Utama, cet.1, th.2010, hlm:152
[5] Jabrohim. Muhammadiyah
Gerakan Kebudayaan yang Berkemajuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.1,
th.2010, hlm.14
[7]
Achmad, Nur., Tanthowi, Pramono U., Maarif, Ahmad Syafii., Syamsuddin, Din. Muhammadiyah
‘Digugat’, Jakarta: Kompas, cet.1, th.2000, hlm:9
[8]
Thohari,
Hajriyanto Y. Muhammadiyah dan Pergulatan politik Islam modernis, Jakarta:
Pusat Studi dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, cet.1, th.2005, hlm.105
Tidak ada komentar:
Posting Komentar