FONDASI METAFISIK EPISTEMOLOGI
Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Drs. Musta’in
Oleh:
1.
Neneng
Puput Purwati 1123301112
2.
Mohammad
Hilmy 1123301117
3.
Tri
Diana Putri 1123301137
4.
Ajib
Darojat 1123301155
Tarbiyah/
2 PAI 4
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2012
FONDASI METAFISIK EPISTEMOLOGI
1.
PENDAHULUAN
Fondasi metafisik sangat penting bagi sebuah epistemologi apapun
karena sangat berpengaruh bagi seluruh bangunan epistmologi, termasuk di
dalamnya sistem klarifikasi maupun metedologi yang digunakannya. Oleh karena
itu, dalam makalah ini saya ingin mengkajinya, siapa tahu dapat memberikan
sedikit “cahaya“ bagi epistemologi yang kita hadapi.
Untuk itu, kami
akan membahas: kaitan metafisik dan epistemologi; basis ontologis epistemologi
Islam, terutama pengaruhnya terhadap sistem klasifikasi hierarki ilmu; metode-metode
ilmiah yang digunakannya, termasuk metode demonstratif, empiris, dan intuitif;
dan upaya reintegrasi ilmu-ilmu berdasarkan fondasi metafisik diatas.
2.
PEMBAHASAN
A.
Metafisik
dan Epistemologi
Sebelum kita
mengkaji keseluruhannya, kita harus mengrti terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan Metafisik Epistemologi atau bisa kita pisahkan pengertiannya
masing-masing.
Metafisik itu
sendiri berasal dari kata “meta” yang berarti sesudah, selain, atau sebaliknya.
Sedangkan “fisika” yang berarti nyata
atau alam. Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh, metafisika adalah Ilmu
yang memikirkan hakikat dibalik alam nyata. Metafisika memperbincangkan hakikat
dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat
diserap oleh pancaindera.[1]
Epistemologi
dalam bahasa inggris lebih dikenal dengan istilah “Theory of knowledge”.
Epistemologi berasal dari kata “episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos”
berarti teori. Lebih rinci, epistemologi yaitu salah satu cabang filsafat yang
mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur,
metode, dan validitas pengetahuan.[2]
Setiap epistemologi mengandaikan secara eksplisit atau implisit
basis metafisik tertentu yang dengannya, bangunan epistemologi didirikan.
Bahkan, ilmu-ilmu modern yang sering dipandang sekuler pun, ternyata juga
memiliki fondasi metafisiknya, sebagaimana ditunjukkan Arthur Burts dalam
bukunya The Metaphysical Foundantion of Moden Science. Kaitan metafisik
dan epistemologi ini penting dikemukakan mengingat pengaruhnya yang besar
terhadap sistem epistemologi yang dibangunnya. Afirmasi atau penolakan seorang
ilmuwan terhadap status ontologis entitas-entitas metafisik. Sebagai contoh,
keraguan atau penolakan dari banyak ilmuwan Barat terhadap dunia metafisik,
telah menyebabkan mereka membatasi lingkup sains hanya pada objek-objek indrawi
atau substansi-subtansi material. Sains kemudian hanya berkutat dengan
entitas-entitas yang bisa diobservasi. Menurut istilah Holmes Rolston, sains
hanya menjelaskan sebab-sebab efisien dan material saja, dan menyerahkan penjelasan
sebab-sebab formal.[3]
Demikian juga
dengan epistemologi Islam yang disusun oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim. Sebagai
seorang yang memiliki kepercayaan penuh pada dunia metafisik., seorang ilmuwan
Muslim, harus menyusun atau memiliki sebuah epistemologi yang cocok dengan
kepercayaan tersebut. Tidaklah heran kalau kita menemukan banyak klasifikasi
ilmu di dunia Islam yang memasukkan objek-objek fisik dan objek-objek nonfisik sekaligus.
Sudah
disinggung di atas bahwa epistemologi Islam, sesuai dengan kepercayaan ilmuwan-ilmuannya
kepada dunia metafisik, telah menciptakan teori ilmu yang membahas bukan saja
objek-objek indrawi, sebagaimana ilmu-ilmu modern, tetapi juga objek-objek
metafisik.
Jadi, tidak
seperti kebanyakan ilmuwan barat yang telah meragukan status ontologis untuk
objek-objek metafisik, ilmuwan-ilmuwan muslim memiliki kepercayaan yang kuat
terhadap status ontologis dari bukan hanya objek-objek fisik yang kasap mata,
tetapi juga objek-objek metafisik yang “gaib”. Objek-objek fisik ini mereka
sebut sebagai mahsusat (objek-objek yang dapat ditangkap indra). Sedangkan
objek-objek metafisik mereka sebut ma’qulat (objek-objek yang tidak bisa
ditangkap indra, tetapi tidak dapat dipahami oleh akal manusia).
Walaupun
objek-objek metafisik tidak bisa dilihat indra, tetapi diyakini memiliki status
ontologis yang sama nyatanya dengan objek-objek fisik, bahkan mungkin, lebih
riil daripada objek-objek indra. Pembagian objek-objek ilmu ke dalam yang
material dan immaterial ini dapat dilihat misalnya dalam karya al-kindi berjudul
Iqsam al-‘Ulum (Divisi Ilmu); dalam karya al-Farabi berjudul Ihsha’
al-‘Ulum (Enumerasi Ilmu); dan dalam karya Ibn Sina berjudul al-Syifa
(Ilmu Penyembuhan).
Para ilmuwan
atau filosof Muslim pada umumnya sepakat untuk membagi ilmu-ilmu filosof ke
dalam ilmu-ilmu teoretis dan ilmu-ilmu praktis. Kemudian ilmu-ilmu teoretis
dibagi lagi ke dalam kelompok besar ilmu: metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu
alam. Pembagian ilmu ini tentu tidak dilepaskan dari basis ontologis yang
mendasarinya. Al- Kindi misalnya, membagi wujud ke dalam “entitas-entitas
material” dan “entitas-entitas immaterial”. Lalu entitas-entitas immaterial tersebut
dibagi lagi ke dalam: pertama, objek-objek yang pada dirinya bersifat
immaterial tetapi masih memiliki hubungan dengan objek-objek material; kedua,
objek-objek immaterial pada dirinya dan tidak punya kaitan apapun dengan
materi, dan ketiga, objek-objek material yang selalu berada dan terkait dengan
materi dan gerak.
Demikian juga
Ibn Sina dalam kitabnya yang berjudul al-Syifa’, membagi objek ilmu ke
dalam tiga kategori: Pertama, entitas-entitas yang bergerak dan
berkaitan dengan materi spesies partikular, baik dalam pemahaman kognitif
(pikiran) maupun dalam subsistensi (alam luar). Kedua, entitas-entitas
yang terpisah dari materi materi spesies partikular dalam pemahaman kognitif
tetapi tidak dalam dunia nyata. Ketiga, entitas-entitas yang terpisah
dari gerak dan materi baik pada dunia nyata maupun dalam pemahaman-pemahaman
kognitif (pikiran).
Dengan kata
lain, dalam skema ontologis Ibn Sina, ada tiga kelas utama dari yang ada (mawjudat),
yaitu: (1) wujud yang secara niscaya tidak bercampur dengan gerak dan materi;
(2) wujud yang secara niscaya bercampur dengan gerak dan materi; dan terakhir
(3) adalah wujud yang dapat bercampur dengan gerak dan materi tetapi juga
memiliki wujud yang terpisah dari keduanya. Kelas utama pertama dari yang ada
inilah, yang menjadi objek ilmu metafisik, seperti Tuhan dan jiwa. Sedangkan yang
kedua menjadi objek ilmu-ilmu alam dan matematik, seperti kemanusiaan,
ke-kuda-an, ke-persegi-an dan lain-lain. Adapun kelas ketiga, seperti identitas
individual, kesatuan, pluralitas dan kausalitas.[4]
Objek-objek
dari jenis ketiga di atas akan menjadi objek matematika, jika dapat dipahami
pikiran tanpa melihat kepada materi dan gerak spesifik. Maka objek-objek
tersebut akan menjadi, atau dipandang sebagai, objek-objek ilmu alam.
Akan tetapi,
entitas yang sama akan dipandang sebagai objek-objek matematika itu merujuk
kepada unit bilangan, dan pluralitas merujuk kepada bilangan-bilangan kuantitatif
yang lebih besar daripada bilangan yang
dijadikan dasar ketika melakukan operasi aritmatika, seperti menjumlah,
mengurangi, mengalikan, membagi, menentukan akar, dan sebagainya.
Menurut
Al-Farabi, hierarki ilmu terkait erat dengan hierarki wujud. Untuk menentukan keunggulan
dari ilmu-ilmu tersebut, dia mengajukan tiga macam kriteria: (1) keunggulan
ilmu menurut kemuliaan objeknya; (2) menurut kedalaman pembuktiannya; (3)
menurut kegunaanya.
B.
Metode
Ilmiah
Metode ini dipandang oleh para ilmuwan Muslim sebagai berikut:
1. Metode Filisofis (Burhani)
Metode unggulan ilmu-ilmu filosof adalah
apa yang disebut “metode demonstratif”. Adapun letak keunggulannya dibanding
dengan metode lainnya adalah karena menggunakan silogisme atau penalaran logis,
dengan menggunakan premis-premis yang “benar, primer, dan niscaya.” Atas dasar
inilah, pembuktian demonstratif dipandang sebagai metode pembuktian paling
ilmiah.
2. Metode Empiris
Selain
menekankan aspek matematik dan metafisik atau simbolik, ada juga yang lebih
menekankan pada penelitian fisik atau empiris. Ibn Rusdy dalam Kitab al-
Kulliyyah, mengkritik penggunaan metode matematik (atau dengan katanya
sendiri “seni aritmatik dan musik” dalam ilmu kedokteran.
3. Metodee Intuitif (Irfani)
Selain metode
demonstratif dan empiris yang masing-masing menggunakan observasi indrawi dan
penalaran rasional, ilmuwan Muslim juga menggunakan metode lain yang disebut
intuitif (irfani). Seperti yang dikatakan Shams C. Inati, ada dua modus dalam
memperoleh ilmu pengetahuan yang diakui ilmuwan-ilmuwan Muslim: pertama, “bergerak dari objek-objek yang diketahui menuju
objek-objek yang tidak diketahui”. Kedua, “semata-mata merupakan hasil
iluminasi langsmg dari dunia ilahi. Modus pengetahuan yang pertama adalah
metode demonstratif atau penalaran logika.
Berbeda dengan pendekatan rasional yang
bersifat inferensial, pendekatan intuitif bersifat presensial, karena
objek-objeknya hadir dalam jiwa seseorang, sehingga modus ilmu seperti itu disebut
“ilmu hudhuri”.[5]
3.
KESIMPULAN
Keraguan atau penolakan dari banyak ilmuwan Barat terhadap dunia
metafisik, telah menyebabkan mereka membatasi lingkup sains hanya pada
objek-objek indrawi atau substansi-subtansi material.
Walaupun objek-objek metafisik tidak bisa dilihat indra, tetapi
diyakini memiliki status ontologis yang sama nyatanya dengan objek-objek fisik,
bahkan mungkin, lebih riil daripada objek-objek indra.
Para
ilmuwan atau filosof Muslim pada umumnya sepakat untuk membagi ilmu-ilmu
filosof ke dalam ilmu-ilmu teoretis dan ilmu-ilmu praktis. Kemudian ilmu-ilmu
teoretis dibagi lagi ke dalam kelompok besar ilmu: metafisika, matematika, dan
ilmu-ilmu alam. Pembagian ilmu ini tentu tidak dilepaskan dari basis ontologis
yang mendasarinya.
Daftar Pustaka
Sudarsono, Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar,Jakarta:Rineka Cipta, cet.2, th.2001
Kartanegara,
Mulyadhi. Nalar Religius, Jakarta:Erlangga, th.2007
Sudarsono. Filsafat
Islam, Jakarta:Rineka Cipta, Th.2004
[1] Sudarsono, Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar,Jakarta:Rineka Cipta, cet.2, th.2001, hlm.114
[2] Ibid, hlm.137
[3] Kartanegara,
Mulyadhi. Nalar Religius, Jakarta:Erlangga, th.2007
[4]Sudarsono. Filsafat
Islam, Jakarta:Rineka Cipta, Th.2004
[5]
Kartanegara, op.cit, hlm.112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar