Sabtu, Maret 23, 2013

Hukum tentang Asuransi

1.   PENDAHULUAN
Pada zaman sekarang ini sudah banyak sekali perusahaan yang bergerak dibidang asuransi. Alasan mengapa orang menggunakan jasa asuransi salah satunya adalah untuk menghindari kerugian yang besar bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Permasalahan asuransi merupakan masalah yang tidak sesederhana dan semudah yang umum diduga banyak orang, baik mengenai jenis-jenis produk yang hendak dipasarkannya,
maupun berkaitan dengan akad dan transaksinya. Lebih-lebih ketika dihubungkan dengan jaminan keberlangsungan akad asuransi itu sendiri dan berbagai hal yang dimungkinkan timbul setelah akad (transaksi) berlangsung.
Pembahasan lebih detail tentang pengertian asuransi, manfaat asuransi, huum asuransi, dan perbedaan antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional akan dijelaskan pada pembahasan dalam makalah ini.

2.    PEMBAHASAN
a.    Pengertian Asuransi
Asuransi adalah kata serapan dari kata “assurantie” (belanda), atau assurance/ insurance (Inggris). Paling tidak menurut sebagian ahli, kata istilah assurantie itu sendiri sesungguhnya bukanlah istilah asli bahasa Belanda, melainkan berasal dari bahasa Latin yang kemudian diserap ke dalam bahasa Belanda yaitu assecurare yang berarti “ meyakinkan orang”. Kata ini kemudian dikenal dalam bahasa Prancis sebagai assurance.  
 Asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi ( muammin) untuk memberikan kepada nasabah/ klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagi konsekuensi daripada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, gaji atau rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi)yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/ nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muamin) disaat hidupnya.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa asuransi ialah jaminan atau perdagangan yang diberikan oleh penanggung (biasanya kantor asuransi) kepada yang tertanggung untuk risiko kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran kecurian, kerusakan dan sebagainya ataupun mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau kecelakaan lainnya, dengan yang teranggung membayar premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan.
Secara sederhana dapat diambil pegertian bahwa asuransi berarti pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian.
Ada beberapa unsur dalam asuransi, yaitu: tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda. Dan penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/ musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan.
Konsep dasar asuransi yang dibenarkan syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah swt yang memerintahkan kepada kita untuk ta’awun  ((tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa ( kebaikan dan ketaqwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal ‘udwan (dosa dan permusuhan).
b.    Manfaat Asuransi
Adapun manfaat dari asuransi adalah sebagai berikut:
1)    Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan diantara anggota.
2)    Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam saling tolong menolong.
3)    Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
4)    Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko yang derita satu pihak.
5)    Juga meningkatkan efisiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu dan biaya.
6)    Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
7)    Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
c.    Hukum Asuransi
Para ulama dan cendekiawan muslim terbagi menjadi empat pandangan dalam berijtihad menentukan hukum asuransi:
1)    Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarang ini termasuk asuransi jiwa. Kelompok ini didukung oleh Sayid Sabiq, Abdullah al-Qalqili Mufti Yordania, Mudammad Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bkhit al-Muthi’. Alasan-alasan yang mereka gunakan adalah:
a)    Asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi. Hukum judi telah jelas tertera dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 90 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar, judi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (AL-Maidah:90)
b)    Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti (uncertainty)
c)    Mengandung unsur riba atau rente, sedangkan riba itu dilarang seperti yang disebutkan dalam firman Alloh SWT surat Al-Imron ayat 130 yang artinya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang memang itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Alloh supaya kamu mendapatkan keberuntungan.” (QS. Al-Imran: 130)
d)    Mengadung unsur eksploitasi, karena pemegang polis kalau tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan.
e)    Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktek riba (kredit bunga).
Artinya: “…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (QS. Al-Baqarah: 275)
f)    Asuransi termasuk akad sharfi, yaitu jual beli atau tukar menukar mata uang yang tidak dengan tunai (cash and cary).
g)    Hidup atau mati manusia dijadikan objek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Kuasa.
2)    Membolehkan semua asuransi yang dalam prakteknya sekarang ini. Pendapat kedua ini didukung oleh Abdul Wahab khallaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria, Muhammad Yusuf Musa, pengarang al-Muamalah al-Hasitsah wa Ahkamuha. Adapun alasan mereka membolehkan asuransi adalah:
a)    Tidak ada Nash al-quran dan Hadits yang melarang asuransi.
b)    Ada kesepakatan atau kerelaan kedua belah pihak.
c)    Saling menguntungkan kedua belah pihak.
d)    Mengandung kepentingan umum (maslahat ‘amah), sebab premi-premi yang terkumpul bisa diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan. Asuransi termasuk akad mudharabah, artinya akad kerjasama bagi hasil antara pemegang polis (pemilk modal) dengan pihak perusahaan  asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing.
e)    Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyah)
f)    Diqiyaskan (analogi) dengan system pensiun, seperti taspen.
3)    Membolehkan asuransi yang bersifat sosial  dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Pendapat ketiga ini didukung oleh Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir.
4)    Menganggap syubhat. Karena tidak ada dalil –dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun menghalalkan asuransi.
Suatu asuransi dibolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syaariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1)    Asuransi syariah harus dibangun atas dasar ta’awun (kerjasama), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorientasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman yang artrinya:
Artinya:“ Dan saling tolong menolonglah kamu semua dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah:2)
2)    Asuransi syariah tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru atau mudhorobah.
3)    Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4)    Setiap angggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
5)    Tidak dibenarkan seseorang menyetor sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan berlipat bila ia terkena suatu musibah. Akan tetapi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan jamaah.
6)    Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
d.    Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
Perbedaan asuransi syariah dan asuransi konvensional diantaranya teletak pada hal-hal sebagai berikut:

NO    Asuransi Konvensional    Asuransi Syariah      
1.    Menggunakan prinsip Akad Tadabbuli (perjanjian jual beli)    Menggunakan prinsip Akad takafuli (tolong menolong)      
2.    Didasarkan pada sistem bunga atau riba    Didasarkan pada sistem mudharabbah (bagi hasil)      
3.    Dana hangus jika tidak sanggup menyetor premi atau jika masa kontrak habis dan tidak terjadi klaim    Dana tidak hangus/ dapat diambil lagi kecuali dana tabarru (dana kebajikan)      
3.    Tidak ada Dewan Pengawas Syariah (DPS)    Adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS)      
4.    Premi yang terkumpul milik perusahaan    Premi yang terkumpul milik nasabah      
5.    Keuntungan investasi seluruhnya milik perusahaan    Keuntungan investasi dibagi dua dengan prinsip bagi hasil   

3.    KESIMPULAN
Asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/ kliennya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi daripada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan.
Hukum asuransi dalam pandangan ulama terbagi menjadi empat macam yaitu,haram karena mengandung gharar (ketidakjelasan), mubah karena tidak ada dalil yang pasti dalam nashnya, membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial, hukum syubhat.
Asuransi dibolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsi-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam, karena itu keberadaan asuransi syariah diperlukan.
Perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional adalah pada asuransi syariah bersifat tafakuli (tolong menolong) sedangkan asuransi konvensional bersifat tadabbul (jual beli). Pada system asuransi syariah didasarkan pada sistem mudharabah (bagi hasil) dan asuransi konvensional didasarkan pada riba.

DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M.Ali. 2000. Zakat, Pajak dan Lembaga Keuangan (masail Fiqhiyah II). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hasbiyallah. 2009. Masail Fiqhiyah. Jakarta: DJPI Depag RI.
Suma, Amin. 2006. Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional. Tangerang: Kholam Publishing


2 komentar:

  1. Postingan mu sangat bagus, menarik dan informative serta bermanfaat buat banyak orang gan.. Keep blogging! :)

    BalasHapus

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Pilih Bahasa

Arsip Blog