I.
Pendahuluan
Pada umumnya orang menyukai warna putih atau golongan-golongan
putih karena menggambarkan kesucian dan kebersihan, berbeda dengan istilah
golongan putih dalam istilah politik yaitu menggambarkan ketidaksetujuan
seseorang terhadap berbagai partai politik, sehingga menuntut dirinya tidak
memilih salah satu dari berbagai partai politik yang ada atau tidak memilih
alternative pemimpin yang ada.
Memilih dan dipilih merupakan hak setiap warga negara Indonesia,
setiap lima tahun sekali kita melakukan proses pemilihan para pemimpin yang
diwakilkan dari partai-partai politik, kita tidak mengetahui kualitas calon
pemimpin kita. Kemudian, haruskah kita tidak memilih para pemimpin dengan
mengambil golongan putih (golput) dan money poliyik. Bagaimana hukum Islam
memendang masalah golput dan money politik ini.[1]
II.
Golput dan
Money Politik
A.
Politik dalam
al-Qur’an
Islam sebagai agama yang sempurna, tentunya juga termaktub masalah-masalah politik. Dalam al-Qur’an, politik tidak pernah disebut dalam ayat-ayat-Nya, akan tetapi secara substantive istilah politik disebut dalam al-Qur’an dengan khalifah dan imam. Misalkan dalam QS. AL-Baqarah; 30:
“Ingatlah
ketika Tuhan-Mu berfirman kepada malaikat: “sesungguhnya Aku hendak menjadikan
khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui”. (QS.
Al-Baqarah: 30).
Dari ayat di atas, para ahli tafsir mengatakan bahwa Allah
menjadikan manusia di bumi ini untuk menjadikan khalifah, artinya adalah untuk
mengatur bumi ini baik untuk mengatur alamnya maupun untuk mengatur sesama
manusia. Dalam konteks khalifah dalam bahasa sekarang bisa disebut dengan
politik. Berpikir politik yang benar adalah apabila dalam berpolitik praktis
agenda yang diusung adalah mencakup dua subtansi politik, yaitu: politik yang
membangun hubungan manusia dengan Allah, membangun hubungan manusia dengan
sesama manusia dan membangun manusia dengan alam sekitarnya. Sedangkan subtansi
yang kedua ialah jangan sampai berpolitik itu merusak hubungan manusia dengan
Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam
sekitarnya. Dengan kata lain, berpolitik yang benar adalah politik yang
berorientasi pada bingkai maqashid syari’ah untuk menjaga agama, menjaga jiwa,
menjaga akal, menjaga kehormatan, menjaga harta benda, menjaga keamanan
masyarakat dan negara, dan menjaga lingkungan sekitarnya.[2]
Menurut para fuqaha’, khalifah atau seorang pemimpin dalam memimpin
mempunyai dua fungsi, yaitu menegakkan agama Islam dan melaksanakan
hukum-hukumnya, serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang
digariskan Islam. Menurut al-Mawardi, kepemimpinan dibutuhkan untuk menggantikan
kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.[3]
Rasulullah SAW bersabda yang artinnya: “Dari Ibnu Umar ra., telah bersabda
Rasulullah SAW., setiap kamu itu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin itu
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam yang menjadi pemimpin
rakyat bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan setiap suami bertanggung jawab
atas rumah tangganya”. (HR. Bukhori-Muslim).
Dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59 juga diterangkan:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu….”
(QS. An-Nisa: 59)
Para fuqaha sepakat bahwa politik dengan segala macam
permasalahannya masuk di dalam kaidah syari’ah, jika tidak dinashkan secara
khusus, maka politik tidak saja apa yang telah dikatakan syara’, karena
syari’ah adalah tertentu dan tertulis dalam kaidah umum saja, sedangkan
kejadian-kejadian dunia adalah serba baru dan terbarukan, dan semua hal yang
menghasilkan keadilan maka hal itu bagian dari agama selagi tidak bertentangan
dengan kaidah syari’ah secara umum.
Maka landasan system politik dalam Islam adalah keadilan,
musyawarah dan persamaan sehingga memberikan kesimpulan bahwa politik Islam
adalah kebijakan dalam menata negara baik permasalahan dalam negeri maupun luar
negeri yang menggunakan undang-undang sesuai dengan koridor syar’i untuk
mengatur rakyatnya dalam mencapai kemaslahatan umum yang berujung pada
kesetabilan negara dan kemakmuran rakyat.[4]
B.
Pengertian
Golput dan Money Politik[5]
Golongan Putih (Golput) dalam istilah poltik adalah penolakan
seseorang untuk tidak memilih alternative para pemimipin yang diwakilkan dari
partai politik. Penolakan tersebut dapat diakibatkan karena calon-calon
pemimpin yang ada dianggap tidak mampu dan tidak layak untuk menjadi pamimpin
atau karena factor lain.
Money
politik adalah penggunaan uang untuk mendapatkan posisi atau perolehan dukungan
dalam mencapai kekuasaan, dan ini bisa berupa uang untuk khidmah kepada
masyarakat, agar suatu saat akan memihak kepadanya jika ada pengambilan
keputusan.
Dalam mobilisasi masa, agar masyarakat memilih pasangan dari para
calon pemimpin yang bersaing, kebanyakan dari para kandidat membayar mahal baik
pada pesaingnya maupun kepada masyarakat agar mendapatkan suara yang banyak.
Maka dalam hal ini, realitas politik dalam masyarakat menggambarkan yang
demikian itu. Disisi lain, kalau yang terjadi adalah suap menyuap dalah antar
pasangan dengan maksud agar dalam pasangan yang lain gagal untuk bersaing dalam
pemilihan umum, maka keduanya sudah terjebak dengan memakan harta dengan bathil
sebagaimana firman Allah QS. An-Nisa’; 29: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”.
Dalam konteks ini, suap-menyuap dalah muamalah yang tidak berakhlak
dan hal itu akan berujung kepada keburukan yang berdampak kepada masyarakat.
Karena dengan melimpahkan permasalhan umat kepada orang yang bukan ahlinya,
yaitu: kemenangan hasil pemilu adalah akibat suap-menyuap (money politik)
berarti terjebak dalam larangan hadis Nabi SAW yang berbunyi: “Jika perkara
itu dilimpahkan pada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah waktunya”.
Mengetahui hal tersebut, penting memberikan syarat-syarat untuk
menjadi seorang pemimpin. Ibnu Khaldun menyatakan, bahwa syarat menjadi
pemimpin dalam suatu pemerintahan ada empat, yaitu:
1.
Memiliki ilmu
pengetahuan.
2.
Adil.
3.
Mampu
malaksanakan tugas, termasuk kearifan.
4.
Sehat jasmani
dan rohani.[6]
C.
Hukum Golput
dan Money Politik[7]
§ Hukum Golput
Menurut Said Aqil Siraj bahwa hukum golput adalah mubah (boleh), alasannya
karena tiga alasan: pertama, pertikaian antara Ali ibn Abi Thalib dengan
Thalhah dan Zubair yang mendapat dukungan dari Aisyah ra., melahirkan
sekelompok umat Islam yang dimotori oleh Abdullah Ibnu Umar yang membentuk
poros tengah dan memilih sikap golput untuk tidak ikut serta dalam pertempuran.
Karena pertempuran Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah tidak patut keduanya saling
berperang, karena keduanya adalah orang-orang yang sangat dekat dengan
Rasulullah SAW. Mengambil golput sangat dibenarkan dalam hal ini.
Kedua, murjiah yang bersikap tidak memberikan sikap terhadap pelaku
dosa besar, dianggap sebagai sikap abstain yang semisal dengan golput. Dan
ketiga, hukum berpartisipasi dalam pemilu adalah sunnah.
Berbeda dengan pendapat, A. Sudarmadji berpendapat bahwa hukum
golput adalah haram bagi umat Islam. Dengan argumentasi sebagai berikut:
pertama, pemilu adalah media untuk memilih pemimpin yang wajib ditaati. Dan
kedua, sikap memilih golput akan merugikan umat Islam sendiri karena sikap
golput berarti membiarkan orang lain memilih pemimpin sesuai dengan tidak
sesuai dengan keinginan kaum muslimin.
Pendapat A. Sudarmadji ini sesuai dengan fatwa Kongres Umat Islam
(KUI) menjelang pemilu tahun 1955 bahwa umat Islam wajib menggunakan hak
pilihnya dalam pemilu dan partai yang wajib dipilih adalah partai Islam.
Menurut Jaih Mubarak, guru besar hukum UIN SGD Bandung bahwa wajib
memilih partai Islam berarti wajib turut serta dalam pemilu. Oleh karena itu,
ketidak ikut sertaan dalam pemilu dapat dianggap sebagai pelanggaran.
§ Hukum Money Politik
Dalam masalah money politik perlu memperhatikan beberapa kaidah
berikut: pertama kaidah Sadudzdzara’I (menutup jalan yang menuju kepada
kemungkaran). Penentuan kekuasaan didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan adalah
amanah, pemimpin adalah pelayan bagi yang dipimpinnya. Kepemimpinan tidak
diberikan kepada orang yang ambisi, sedangkan money politik akan mengarahkan
kondisi kepemimpinan sebagai sesuatu yang dicari. Sebagaimana masyarakat
hendaklah memilih pemimpin berdasarkan criteria amanah dan kekuatan bukan
karena materi, sedangkan money politik akan mengarahkan masyarakat untuk
bersikap pragmatis.
Money politik berakibat secara luas yaitu mendorong para pemimpin
untuk mengeksploitir kelemahan rakyat setelah mendapatkan kekuasaan. Dalam
kaidah saad dzaro’I dipahami bahwa semua hal yang mengarahkan kepada keburukan
harus ditutup. Disisi lain money politik bisa dianaligikan kepada larangan
menerima hadiah sebagai budi terhadap rekomendasi.
Kedua yaitu: Al-Muslimu ‘alaa syuruuthuhum. Kaum muslimin dalam
percaturan politikdiwajibkan untuk tepat janji, amanah, disiplin dengan
peraturan selama tidak bertentangan dengan syar’i, keshalehan dan kelayakan
seorang pemimpin penilaiannya diserahkan kepada public bukan kepada pelaku
polotik, sehingga publiklah yang menilai dengan nuraninya siapa yang paling
pantas untuk memimpin dengan tanpa dipengaruhi pemberian materi, sedang money
politik menjadikan tertutupnnya nurani, dan bisa saja terpilih karena materi
bukan karena kepantasan, dan hal itu telah disepakati akan tidak bolehnya money
politik.
D.
Adab Berpolitik
dalam Islam[8]
Pada dasarnya Islam mengatur bagaimana berpolitik sesuai dengan
Islam, yaitu yang memiliki tujuan untuk memekmurkan muka bumi ini sehingga
berpolitik adalah berdakwah. Partai-partai politik seharusnya tidak menggunakan
politik uang untuk meraih kekuasaan politik, padahal cukup untuk beraktifitas
sesuai dengan dakwah dalam Islam.
Adab berpolitik dalam Islam diantaranya:
1.
Ikhlas dan membebaskan diri dari motivasi rendah.
2.
Menyampaikan
program-programnya dengan cara yang sebaik-baiknya.
3.
Dalam
menampilkan acara harus dengan sesuai aturan syari’ah.
4.
Tidak memaksa.
5.
Tidak
menghalalkan segala cara.
6.
Tidak jatuh
pada dusta atau bohong.
7.
Tidak
mengucapkan janji secara berlebihan.
8.
Tidak jatuh
dalam ghibah, caci maki dan cemooh.
9.
Tetap menjaga
rasa ukhuwah Islamiyah.
10.
Tidak
memuji-muji diri sendiri.
11.
Memberikan
kemaslahatan bagi bangsa.
12.
Menghindari
fitnah dan menutup pintu keburukan.
13.
Dilakukan
secara tertib dan tidak mengganggu pihak lain.
14.
Selalu ingat
akan kewajiban utama.
15.
Memberi
keteladanan yang baik.
III.
Penutup
Dalam
Islam, politik juga merupakn suatu hal yang penting dalam kehidupan. Salah
satunya yaitu dalam suatu pengangkatan seorang pemimpin dalam sebuah negara.
Sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut wajib dilakukan, karena memiliki
fungsi yang baik, diantaranya untuk menegakkan agama Islam dan melaksanakan
hukum-hukumnya, serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang
digariskan Islam, dan juga untuk mengatur kehidupan dunia. Maka dari itu, cara
yang digunakan untuk memilih seorang pemimpin pun harus dengan cara yang baik,
bukan seperti menggunakan money politik yang nantinya akan membuahkan ketidak
adilan dalam kepemimpinan. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim seharusnya
tahu bagaimana adab-adab berpolitik dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
·
Hasbiyallah.
2009. Masail Fiqhiyah, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam dan
Departemen Agama Republik Indonesia.
·
Iqbal,
Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi adaoktrin Politik Islam),
Jakarta: Gaya Media Pratama.
·
A. Djazuli.
2003. Fiqh Siyasah (Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu
Syari’ah), Jakarta: Prenada Media.
[1] Hasbiyallah, Masail
Fiqhiyah, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam dan Departemen Agama
Republik Indonesia, 2009, hal. 319.
[2] Ibid.,
hal. 320.
[3] Muhammad
Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi adaoktrin Politik Islam), Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001, hal. 129.
[4] Hasbiyallah, Op.
Cit., hal. 321.
[5] Ibid.,
hal. 323-324.
[6] A. Djazuli, Fiqh
Siyasah (Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syari’ah),
Jakarta: Prenada Media, 2003, hal. 112.
[7] Hasbiyallah, Op.
Cit., hal. 324-326.
Postingan dan blog mu sangat menarik sobat. Sangat informative and bermanfaat buat banyak orang. Thanks and keep blogging!
BalasHapusARTIKEL INI BAGUS UNTUK MENAMBAH WAWASAN KAUM MUSLIMIN TENTANG POLITI YANG ISLAMI
BalasHapus