Sabtu, Maret 23, 2013

Hukum Golput dan Money Politic


I.                   Pendahuluan
Pada umumnya orang menyukai warna putih atau golongan-golongan putih karena menggambarkan kesucian dan kebersihan, berbeda dengan istilah golongan putih dalam istilah politik yaitu menggambarkan ketidaksetujuan seseorang terhadap berbagai partai politik, sehingga menuntut dirinya tidak memilih salah satu dari berbagai partai politik yang ada atau tidak memilih alternative pemimpin yang ada.
Memilih dan dipilih merupakan hak setiap warga negara Indonesia, setiap lima tahun sekali kita melakukan proses pemilihan para pemimpin yang diwakilkan dari partai-partai politik, kita tidak mengetahui kualitas calon pemimpin kita. Kemudian, haruskah kita tidak memilih para pemimpin dengan mengambil golongan putih (golput) dan money poliyik. Bagaimana hukum Islam memendang masalah golput dan money politik ini.[1]
II.                Golput dan Money Politik
A.    Politik dalam al-Qur’an

Islam sebagai agama yang sempurna, tentunya juga termaktub masalah-masalah politik. Dalam al-Qur’an, politik tidak pernah disebut dalam ayat-ayat-Nya, akan tetapi secara substantive istilah politik disebut dalam al-Qur’an dengan khalifah dan imam. Misalkan dalam QS. AL-Baqarah; 30:

“Ingatlah ketika Tuhan-Mu berfirman kepada malaikat: “sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah: 30).
Dari ayat di atas, para ahli tafsir mengatakan bahwa Allah menjadikan manusia di bumi ini untuk menjadikan khalifah, artinya adalah untuk mengatur bumi ini baik untuk mengatur alamnya maupun untuk mengatur sesama manusia. Dalam konteks khalifah dalam bahasa sekarang bisa disebut dengan politik. Berpikir politik yang benar adalah apabila dalam berpolitik praktis agenda yang diusung adalah mencakup dua subtansi politik, yaitu: politik yang membangun hubungan manusia dengan Allah, membangun hubungan manusia dengan sesama manusia dan membangun manusia dengan alam sekitarnya. Sedangkan subtansi yang kedua ialah jangan sampai berpolitik itu merusak hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dengan kata lain, berpolitik yang benar adalah politik yang berorientasi pada bingkai maqashid syari’ah untuk menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga kehormatan, menjaga harta benda, menjaga keamanan masyarakat dan negara, dan menjaga lingkungan sekitarnya.[2]
Menurut para fuqaha’, khalifah atau seorang pemimpin dalam memimpin mempunyai dua fungsi, yaitu menegakkan agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan Islam. Menurut al-Mawardi, kepemimpinan dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.[3] Rasulullah SAW bersabda yang artinnya: “Dari Ibnu Umar ra., telah bersabda Rasulullah SAW., setiap kamu itu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam yang menjadi pemimpin rakyat bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan setiap suami bertanggung jawab atas rumah tangganya”. (HR. Bukhori-Muslim).
Dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59 juga diterangkan:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu….” (QS. An-Nisa: 59)
Para fuqaha sepakat bahwa politik dengan segala macam permasalahannya masuk di dalam kaidah syari’ah, jika tidak dinashkan secara khusus, maka politik tidak saja apa yang telah dikatakan syara’, karena syari’ah adalah tertentu dan tertulis dalam kaidah umum saja, sedangkan kejadian-kejadian dunia adalah serba baru dan terbarukan, dan semua hal yang menghasilkan keadilan maka hal itu bagian dari agama selagi tidak bertentangan dengan kaidah syari’ah secara umum.
Maka landasan system politik dalam Islam adalah keadilan, musyawarah dan persamaan sehingga memberikan kesimpulan bahwa politik Islam adalah kebijakan dalam menata negara baik permasalahan dalam negeri maupun luar negeri yang menggunakan undang-undang sesuai dengan koridor syar’i untuk mengatur rakyatnya dalam mencapai kemaslahatan umum yang berujung pada kesetabilan negara dan kemakmuran rakyat.[4]
B.     Pengertian Golput dan Money Politik[5]
Golongan Putih (Golput) dalam istilah poltik adalah penolakan seseorang untuk tidak memilih alternative para pemimipin yang diwakilkan dari partai politik. Penolakan tersebut dapat diakibatkan karena calon-calon pemimpin yang ada dianggap tidak mampu dan tidak layak untuk menjadi pamimpin atau karena factor lain.
Money politik adalah penggunaan uang untuk mendapatkan posisi atau perolehan dukungan dalam mencapai kekuasaan, dan ini bisa berupa uang untuk khidmah kepada masyarakat, agar suatu saat akan memihak kepadanya jika ada pengambilan keputusan.
Dalam mobilisasi masa, agar masyarakat memilih pasangan dari para calon pemimpin yang bersaing, kebanyakan dari para kandidat membayar mahal baik pada pesaingnya maupun kepada masyarakat agar mendapatkan suara yang banyak. Maka dalam hal ini, realitas politik dalam masyarakat menggambarkan yang demikian itu. Disisi lain, kalau yang terjadi adalah suap menyuap dalah antar pasangan dengan maksud agar dalam pasangan yang lain gagal untuk bersaing dalam pemilihan umum, maka keduanya sudah terjebak dengan memakan harta dengan bathil sebagaimana firman Allah QS. An-Nisa’; 29: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”.
Dalam konteks ini, suap-menyuap dalah muamalah yang tidak berakhlak dan hal itu akan berujung kepada keburukan yang berdampak kepada masyarakat. Karena dengan melimpahkan permasalhan umat kepada orang yang bukan ahlinya, yaitu: kemenangan hasil pemilu adalah akibat suap-menyuap (money politik) berarti terjebak dalam larangan hadis Nabi SAW yang berbunyi: “Jika perkara itu dilimpahkan pada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah waktunya”.
Mengetahui hal tersebut, penting memberikan syarat-syarat untuk menjadi seorang pemimpin. Ibnu Khaldun menyatakan, bahwa syarat menjadi pemimpin dalam suatu pemerintahan ada empat, yaitu:
1.      Memiliki ilmu pengetahuan.
2.      Adil.
3.      Mampu malaksanakan tugas, termasuk kearifan.
4.      Sehat jasmani dan rohani.[6]
C.     Hukum Golput dan Money Politik[7]
§  Hukum Golput
Menurut Said Aqil Siraj bahwa hukum golput adalah mubah (boleh), alasannya karena tiga alasan: pertama, pertikaian antara Ali ibn Abi Thalib dengan Thalhah dan Zubair yang mendapat dukungan dari Aisyah ra., melahirkan sekelompok umat Islam yang dimotori oleh Abdullah Ibnu Umar yang membentuk poros tengah dan memilih sikap golput untuk tidak ikut serta dalam pertempuran. Karena pertempuran Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah tidak patut keduanya saling berperang, karena keduanya adalah orang-orang yang sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Mengambil golput sangat dibenarkan dalam hal ini.
Kedua, murjiah yang bersikap tidak memberikan sikap terhadap pelaku dosa besar, dianggap sebagai sikap abstain yang semisal dengan golput. Dan ketiga, hukum berpartisipasi dalam pemilu adalah sunnah.
Berbeda dengan pendapat, A. Sudarmadji berpendapat bahwa hukum golput adalah haram bagi umat Islam. Dengan argumentasi sebagai berikut: pertama, pemilu adalah media untuk memilih pemimpin yang wajib ditaati. Dan kedua, sikap memilih golput akan merugikan umat Islam sendiri karena sikap golput berarti membiarkan orang lain memilih pemimpin sesuai dengan tidak sesuai dengan keinginan kaum muslimin.
Pendapat A. Sudarmadji ini sesuai dengan fatwa Kongres Umat Islam (KUI) menjelang pemilu tahun 1955 bahwa umat Islam wajib menggunakan hak pilihnya dalam pemilu dan partai yang wajib dipilih adalah partai Islam.
Menurut Jaih Mubarak, guru besar hukum UIN SGD Bandung bahwa wajib memilih partai Islam berarti wajib turut serta dalam pemilu. Oleh karena itu, ketidak ikut sertaan dalam pemilu dapat dianggap sebagai pelanggaran.
§  Hukum Money Politik
Dalam masalah money politik perlu memperhatikan beberapa kaidah berikut: pertama kaidah Sadudzdzara’I (menutup jalan yang menuju kepada kemungkaran). Penentuan kekuasaan didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan adalah amanah, pemimpin adalah pelayan bagi yang dipimpinnya. Kepemimpinan tidak diberikan kepada orang yang ambisi, sedangkan money politik akan mengarahkan kondisi kepemimpinan sebagai sesuatu yang dicari. Sebagaimana masyarakat hendaklah memilih pemimpin berdasarkan criteria amanah dan kekuatan bukan karena materi, sedangkan money politik akan mengarahkan masyarakat untuk bersikap pragmatis.
Money politik berakibat secara luas yaitu mendorong para pemimpin untuk mengeksploitir kelemahan rakyat setelah mendapatkan kekuasaan. Dalam kaidah saad dzaro’I dipahami bahwa semua hal yang mengarahkan kepada keburukan harus ditutup. Disisi lain money politik bisa dianaligikan kepada larangan menerima hadiah sebagai budi terhadap rekomendasi.
Kedua yaitu: Al-Muslimu ‘alaa syuruuthuhum. Kaum muslimin dalam percaturan politikdiwajibkan untuk tepat janji, amanah, disiplin dengan peraturan selama tidak bertentangan dengan syar’i, keshalehan dan kelayakan seorang pemimpin penilaiannya diserahkan kepada public bukan kepada pelaku polotik, sehingga publiklah yang menilai dengan nuraninya siapa yang paling pantas untuk memimpin dengan tanpa dipengaruhi pemberian materi, sedang money politik menjadikan tertutupnnya nurani, dan bisa saja terpilih karena materi bukan karena kepantasan, dan hal itu telah disepakati akan tidak bolehnya money politik.
D.    Adab Berpolitik dalam Islam[8]
Pada dasarnya Islam mengatur bagaimana berpolitik sesuai dengan Islam, yaitu yang memiliki tujuan untuk memekmurkan muka bumi ini sehingga berpolitik adalah berdakwah. Partai-partai politik seharusnya tidak menggunakan politik uang untuk meraih kekuasaan politik, padahal cukup untuk beraktifitas sesuai dengan dakwah dalam Islam.
Adab berpolitik dalam Islam diantaranya:
1.      Ikhlas  dan membebaskan diri dari motivasi rendah.
2.      Menyampaikan program-programnya dengan cara yang sebaik-baiknya.
3.      Dalam menampilkan acara harus dengan sesuai aturan syari’ah.
4.      Tidak memaksa.
5.      Tidak menghalalkan segala cara.
6.      Tidak jatuh pada dusta atau bohong.
7.      Tidak mengucapkan janji secara berlebihan.
8.      Tidak jatuh dalam ghibah, caci maki dan cemooh.
9.      Tetap menjaga rasa ukhuwah Islamiyah.
10.  Tidak memuji-muji diri sendiri.
11.  Memberikan kemaslahatan bagi bangsa.
12.  Menghindari fitnah dan menutup pintu keburukan.
13.  Dilakukan secara tertib dan tidak mengganggu pihak lain.
14.  Selalu ingat akan kewajiban utama.
15.  Memberi keteladanan yang baik.
III.             Penutup
Dalam Islam, politik juga merupakn suatu hal yang penting dalam kehidupan. Salah satunya yaitu dalam suatu pengangkatan seorang pemimpin dalam sebuah negara. Sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut wajib dilakukan, karena memiliki fungsi yang baik, diantaranya untuk menegakkan agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan Islam, dan juga untuk mengatur kehidupan dunia. Maka dari itu, cara yang digunakan untuk memilih seorang pemimpin pun harus dengan cara yang baik, bukan seperti menggunakan money politik yang nantinya akan membuahkan ketidak adilan dalam kepemimpinan. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim seharusnya tahu bagaimana adab-adab berpolitik dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA

·         Hasbiyallah. 2009. Masail Fiqhiyah, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam dan Departemen Agama Republik Indonesia.
·         Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi adaoktrin Politik Islam), Jakarta: Gaya Media Pratama.
·         A. Djazuli. 2003. Fiqh Siyasah (Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syari’ah), Jakarta: Prenada Media.



[1] Hasbiyallah, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam dan Departemen Agama Republik Indonesia, 2009, hal. 319.
[2] Ibid., hal. 320.
[3] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi adaoktrin Politik Islam), Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hal. 129.
[4] Hasbiyallah, Op. Cit., hal. 321.
[5] Ibid., hal. 323-324.
[6] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syari’ah), Jakarta: Prenada Media, 2003, hal. 112.
[7] Hasbiyallah, Op. Cit., hal. 324-326.
[8] Ibid., hal. 326-330.

2 komentar:

  1. Postingan dan blog mu sangat menarik sobat. Sangat informative and bermanfaat buat banyak orang. Thanks and keep blogging!

    BalasHapus
  2. ARTIKEL INI BAGUS UNTUK MENAMBAH WAWASAN KAUM MUSLIMIN TENTANG POLITI YANG ISLAMI

    BalasHapus

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Pilih Bahasa

Arsip Blog